Wayang Golek, boneka kayu tiga dimensi yang hidup di balik kelir dan iringan gamelan, adalah salah satu mahakarya budaya Sunda yang paling berharga. Berbeda dengan Wayang Kulit yang didominasi Jawa Tengah dan Timur, Wayang Golek berkembang pesat di Jawa Barat, menjadi identitas kultural yang kuat. Menganggapnya sebagai sekadar boneka kayu adalah pandangan yang terlalu dangkal. Di dalamnya tersimpan perjalanan panjang seni pertunjukan yang telah bertransformasi selama kurang lebih empat abad.
Mengupas tuntas peran Wayang dalam dunia pendidikan, hiburan, dan dakwah.
Memahami sejarah Wayang Golek berarti mengikuti jejak adaptasi, inovasi, dan akulturasi. Seni ini mampu bertahan melalui perubahan zaman, kolonialisme, hingga derasnya arus modernisasi dan media digital. Artikel ini akan membedah lima periode kunci yang menandai evolusi Wayang Golek, dari awal kemunculannya hingga menjadi seni populer yang mendunia.
1. Periode Awal (Awal Abad ke-17): Adaptasi dan Asimilasi
Kemunculan awal Wayang Golek diperkirakan terjadi pada awal abad ke-17, didorong oleh kebutuhan untuk menghadirkan tontonan yang lebih nyata dan visual di siang hari, atau sebagai respons terhadap larangan visualisasi makhluk hidup dalam konteks tertentu.
Pada masa ini, sejarah Wayang Golek diyakini dipengaruhi oleh dua sumber utama. Pertama, adalah tradisi Wayang Kulit yang sudah mapan. Wayang Kulit diadaptasi menjadi boneka tiga dimensi agar lebih sesuai untuk pertunjukan di luar kelir bayangan. Kedua, adalah pengaruh Wayang Potehi (boneka tangan Tiongkok). Wayang Potehi, yang dibawa oleh imigran Tiongkok, memberikan inspirasi dalam bentuk boneka dan mekanisme gerak, terutama di wilayah pesisir seperti Cirebon. Wayang Golek di periode ini masih sederhana dan belum terstandardisasi seperti sekarang.
7 Makna Magis Warna Dalam Topeng Wayang, warisan budaya yang penuh rahasia.
2. Periode Islamisasi (Abad ke-18): Kemunculan Wayang Menak
Abad ke-18 ditandai dengan penetrasi Islam yang semakin kuat di Nusantara. Periode ini menjadi fase krusial dalam sejarah Wayang Golek, di mana konten cerita diubah untuk mengakomodasi ajaran dan nilai-nilai baru.
Munculnya Wayang Menak adalah ciri khas utama periode ini. Wayang Menak membawakan kisah kepahlawanan Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad, yang bertempur melawan musuh-musuh Islam. Cerita ini dipilih karena dianggap lebih sesuai dengan nilai-nilai dakwah Islam. Bentuk Wayang Menak cenderung lebih kaku dan formal dibandingkan Wayang Purwa (yang menceritakan Mahabharata dan Ramayana). Meskipun demikian, Wayang Menak memainkan peran besar dalam menyebarkan nilai-nilai kepahlawanan dan keimanan, menjadi salah satu tonggak penting dalam evolusi sejarah Wayang Golek sebagai media dakwah dan hiburan.
3. Periode Klasik/Cepak (Abad ke-19): Perkembangan di Cirebon dan Banten
Abad ke-19 adalah masa ketika Wayang Golek mulai terkonsentrasi dan mengalami pematangan bentuk di wilayah pesisir Jawa Barat, terutama Cirebon dan Banten.
Di Cirebon, muncul gaya Wayang Golek Cepak. Karakteristik Cepak adalah bentuk kepala boneka yang datar atau ‘cepak’ di bagian atasnya. Wayang Cepak umumnya menceritakan kisah-kisah kepahlawanan lokal dan legenda-legenda Jawa (Babad) seperti Damarwulan atau cerita para Wali. Perbedaan ini menunjukkan bagaimana sejarah Wayang Golek mulai terfragmentasi secara geografis dan stilistik. Selain itu, pada periode ini mulai terjadi standardisasi dalam pembuatan boneka, tata busana, dan alunan gamelan pengiring, menjadikannya seni pertunjukan yang lebih terstruktur dan baku.
4. Periode Wayang Purwa Sunda (Awal Abad ke-20): Dominasi Wayang Purwa dan Gamelan Salendro
Awal abad ke-20 adalah periode yang paling menentukan bagi identitas Wayang Golek modern. Pada masa ini, Wayang Golek mulai meninggalkan dominasi cerita Menak dan Babad, beralih kembali ke epos Mahabharata dan Ramayana, yang kemudian dikenal sebagai Wayang Golek Purwa.
Pergeseran ini melahirkan gaya khas Wayang Golek Purwa Sunda. Wayang Purwa Sunda dicirikan oleh penggunaan laras gamelan Salendro yang degung dan khas Jawa Barat, berbeda dengan gamelan pelog di Jawa Tengah. Gerak boneka menjadi lebih dinamis, dialognya diselipkan dengan bahasa Sunda yang jenaka (bodoran), terutama oleh tokoh Punakawan seperti Cepot, Dawala, dan Gareng. Inilah puncak popularitas sejarah Wayang Golek yang kita kenal saat ini, didorong oleh peran dalang-dalang terkemuka yang mulai mengadaptasi cerita agar lebih relevan dengan isu-isu sosial kontemporer.
5. Periode Modern/Inovasi (Akhir Abad ke-20 hingga Kini): Peran Dalang Modern dan Adaptasi Media
Periode ini adalah era adaptasi dan revitalisasi yang dipelopori oleh dalang-dalang inovatif. Menghadapi gempuran media massa dan hiburan modern, Wayang Golek harus bertransformasi agar tetap relevan.
Tokoh kunci seperti Asep Sunandar Sunarya memainkan peran besar. Ia dikenal karena inovasi dramatisnya, termasuk boneka yang bisa menangis, mengeluarkan air mata, kepala yang bisa lepas (copot), hingga teknik memainkan boneka yang ekstrem dan menghibur. Inovasi-inovasi ini membuat sejarah Wayang Golek memasuki babak baru, di mana elemen hiburan dan teknologi diintegrasikan tanpa menghilangkan filosofi dasarnya. Selain itu, dalang modern menggunakan media rekaman, televisi, dan kini YouTube, untuk menyebarkan pertunjukan mereka, memastikan seni ini menjangkau audiens global dan melanggengkan eksistensi sejarah Wayang Golek di era digital.
Kupas tuntas 7 makna filosofi terdalam di balik keindahan Tari Wayang.
Perjalanan sejarah Wayang Golek selama empat abad adalah kisah luar biasa tentang ketahanan, adaptasi, dan kekayaan budaya. Dari awal adaptasi Wayang Kulit dan pengaruh Tiongkok, melalui fase Islamisasi Wayang Menak, pematangan Wayang Cepak di pesisir, hingga akhirnya mencapai puncak dominasi Wayang Purwa Sunda, seni ini terus berevolusi. Peran dalang yang inovatif pada periode modern menjadi penentu, memastikan bahwa Wayang Golek tidak hanya menjadi artefak masa lalu, tetapi tetap menjadi seni pertunjukan yang hidup, dinamis, dan relevan. Dengan memahami sejarah Wayang Golek, kita tidak hanya menghargai boneka kayu, tetapi juga menghormati semangat kreatif dan kearifan lokal yang menjadi penjaga identitas kultural Sunda.
Tertarik melihat bagaimana produk kami bisa membantu bisnis Anda? Lihat detail produk kami di e-Katalog Inaproc Tamaro Nusantara